Monday 9 September 2013

Ruang Publik

Ingatan saya kembali ke masa kecil. Cukup beruntung saya mengalami masa kecil di era 90an. Kata orang, siapapun yang lahir di tahun 80an akan disebut generasi 90. Baiklah, saya akan mengikuti pelabelan tersebut: resmilah saya menyebut diri sebagai generasi 90! "Hell yeaahh!!" kata James Hetfield, salah satu manusia yang saya labeli sebagai pemusik jenius (ok, juga Matt Bellamy), hanya karena saya iri melihat mereka bisa bermain gitar dan bernyanyi dengan njelimet di saat bersamaan :)

Lalu apa yang istimewa di era itu? Banyak.
Dimulai dari MTV yang sedang mengalami masa kejayaan. Bayangkan, saya bisa menonton video clip atau tayangan live Metallica, Pearl Jam, Nirvana, Sound Garden, No Doubt,  (dan tentunya Sarah Sechan sebagai sang VJ) mondar-mandir berjam-jam di MTV. Tanpa bermaksud mengesampingkan sajian musik saat ini, bagi saya era 90an adalah surga musik.
Generasi 90an juga merupakan saksi transisi era analog ke digital. Transisi yang hampir mengubah setiap hal dalam keseharian. Dari kaset menjadi CD (masih ingat masa kejayaan Walkman generasi awal?), dari mesin ketik di kelurahan menjadi komputer, dan tentunya dari kamera film menuju kamera bersensor digital.

Sebenarnya, masih banyak kenangan manis di era 90an. Namun menyesuaikan dengan stok foto yang saya punyai (hehehe..), langsung saja ke tema tulisan ini, yaitu ruang publik. Dalam dua puluh tahun terakhir, populasi ruang publik mengalami kondisi yang memprihatinkan, semakin tergerus dengan ruang-ruang privat. Rasanya, mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta lebih paham akan hal ini dibanding saya. Dahulu, masih banyak anak-anak yang menghabiskan waktu bermainnya dengan berinteraksi dalam permainan 'tradisional' semacam petak umpet, sepak bola, lompat tali, dan  sebagainya. Sekarang hal tersebut menjadi barang langka.

Ada dua hal setidaknya yang menyuburkan fenomena ini: keterbatasan ruang publik dan tekanan kemajuan teknologi. Lainnya mohon dicari sendiri.hehe..

Ruang publik semakin tergusur. Anak-anak dan keluarga kehilangan momen berharga bebas biaya. Di sisi lain, pilihan yang menjamur adalah mall. Mall, surga kemewahan dan simbol modernisme kebablasan. Bagaimana bisa berkoar-koar ingin menciptakan generasi yang produktif jika sedari kecil sudah disuguhi lingkungan yang konsumtif dan materialistis? Modernisme secara masif dikawinpaksakan dengan kemewahan dan dunia barat. Mengutip karya komikus Aji Prasetyo dalam komik sindiran sosial berjudul 'Hidup Itu Indah' (yang sepertinya sudah ditarik dari peredaran karena ada beberapa pihak yang tersingung dengan sindirannya), kita sebagai bangsa sudah men-jongos-kan diri dengan mengagungkan budaya asing. Ringkasnya, jika ingin dilihat modern harus kebarat-baratan, jika ingin dilihat suci harus ketimurtengah-ketimurtengahan (kok ribet nulisnya hehe). Jika di negera-negara yang kita jadikan kiblat modernisme ruang publik sangat diperhatikan, di sini ruang publik hanya dijadikan bonus. Liat saja pengembang perumahan yang menyediakan ruang publik setegah hati, sekedar pemanis deretan rumah-rumah yang berjubel.

Keterbatasan ruang publik berkoalisi secara mesra dengan tekanan kemajuan teknologi. Bagi anak-anak, hal paling signifikan dari kemajuan teknologi adalah jenis permainan. Jika dulu anak-anak berinteraksi dalam permainan petak umpet, sepak bola, atau lompat tali, sekarang interaksi sosial mereka dikebiri oleh hadirnya Playstat*on, Angry B*rd, dan teman-temannya. Pola interaksi manusia-manusia bergeser menjadi manusia-benda. Secara logis, menyebabkan rumus interaksi manusia-benda yang tertanam kuat di mas kecil kelak akan (sangat mungkin) dipakai dalam pola interaksi manusia-manusia. Sudah bisa ditebak bukan, akan lahir generasi seperti apa? Bukan sebuah keniscayaan memang, namun gambaran masa depan yang diisi generasi self-sentris mau tidak mau muncul juga di pikiran saya.

Di tengah ketakutan akan punahnya ruang-ruang publik; ruang yang menjadi surga interaksi bebas biaya, interaksi bebas kemewahan, dan interaksi manusia-manusia; saya masih menemukan beberapa ruang publik terpelihara baik. Berikut sisa-sisa surga tersebut yang terekam dalam film saya....

dari pada antri lebih baik boncengan

pedestrian

bukan sekedar untuk berayun

mereka belajar memboikot dan menyabotase pesaing :)

yang tertib ya anak-anak

war machines?

ada tempat untuk si penyendiri



Data gambar
Kamera: Canon Canonet QL 17 GIII
Film : Lucky color asa 100 (discontinued), Fuji Film Superia asa 200

No comments:

Post a Comment